AURI: Raja Udara Orde Lama
08
- Juli
2022
Posted By : hmpsfishipol
Komentar Dinonaktifkan pada AURI: Raja Udara Orde Lama
AURI: Raja Udara Orde Lama

Oleh Adhika Seta Pratama | Editor : Aziz Widiasni

TNI AU (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara) atau yang dulu disebut dengan AURI (Angakatan Udara Republik Indoesia) menjadi salah satu mata tombak dalam pertahanan Indonesia. Akan tetapi tidak seperti saudara-saudaranya yang berada di Angkatan Darat dan Laut, Angakatan Udara tidak banyak mendapatkan perhatiaan dari pemerintah. Hal ini disebabkan oleh tuduhan terhadap AURI uang dianggap terlibat dalam peristiwa G30S/PKI terjadi. Walaupun demikian, AURI ternyata pernah menjadi salah satu kekuatan pertahanan terbesar di Asia pada masa Orde Lama, tepatnya ketika dipimpin oleh Omar Dani.

1. Belajar dari Permesta

Ketika pernyataan kemerdekaan dan pembentukan negara Indonesia baru saja digaungkan, seluruh pasukan yang berada di pihak pemerintahan Indonesia mulai berbenah diri untuk menjadi pasukan yang kuat dalam mempertahankan Indonesia dari berbagai ancaman yang ada. Ancaman yang terjadi pada awal kemerdekaan bukan semata-mata berasal dari pihak Belanda yang masih memiliki ambisi untuk menguasai Indonesia, akan tetapi ancaman juga datang dari bagian badan Indonesia sendiri yang berasal dari kelompok-kelompok pemberontak yang tidak sependapat dengan pendiriaan pemerintah Indonesia saat itu dan hendak mendirikan negaranya sendiri dengan ideologi-ideologi yang mereka percayai.

Pemberontakan yang terjadi di Indonesia saat itu tentu saja mengancam kedaulatan negara dan harus segera dibersihkan. Untuk urusan tersebut, AURI dipercaya untuk melancarkan upaya peredaman pemberontakan. Pada saat itu, AURI dihadapkan dengan ancaman pemberontakan Permesta yang mendapat bantuan dari pihak CIA. Bantuan yang didapatkan berupa peralatan tempur dan bantuan lainnya. Hal ini berbanding terbalik dengan kekuatan dan peralatan yang dimiliki oleh AURI yang masih berada di bawah standar Angkatan Udara negara-negara lain. Namun, hal tersebut tidak mematahkan usaha AURI untuk menyelesaikan tugasnya. Usaha yang dilakukan oleh AURI membuahkan hasil yang cemerlang ketika Komodor Iganatius berhasil menembak jatuh Alen Pope. Peristiwa tersebut sekaligus menandai berakhirnya pemberontakan Permesta. Berakhirnya Permesta ini bukalah akhir perjuangan AURI. Mereka masih harus mengejar ketertinggalan kekuataan dan peralatan tempur dibandingkan dengan negara-negara lain.

AURI sendiri bukanlah pasukan yang bisa dianggap amartir dalam hal pertempuran. Sebab, AURI adalah pasukan yang dahulunya dilatih dan ditinggalkan oleh pemerintah Belanda dan Jepang. AURI juga telah memiliki A6 Zero atau P 51 Mustang. Meskipun demikian, peralatan tersebut masih dinilai kurang dan harus ditambah. Hal ini juga yang mendasari pembelian jet Inggris De Havilland dan mengirim pilot untuk menempuh pelatihan di Amerika Serikat. Percepatan pembenahan yang dilakukan AURI dapat dianggap sebagai sebuah terobosan yang baik pada saat itu.

2. Produk Beruang Merah

Memasuki akhir tahun 1959, AURI dibawah komando Omar Dani berkeinginan menambah koleksi peralatan tempur dan pesawat sebagai usaha siaga ketika perang pecah kembali. Keinginan tersebut ternyata tidak semudah membalikan kedua tangan. Banyak permasalahan yang harus dihadapi oleh pihak AURI dan tentu saja pihak Indonesia saat itu ketika ingin membeli peralatan tempur baru. Salah satu permasalahan adalah Indonesia bukan salah satu negara yang mampu untuk memproduksi sendiri pesawat terbang yang akan digunakan oleh para angkatan tempur. Hal ini menyebabkan AURI dan pihak Indonesia, mau tidak mau harus membeli dengan negara asing. Akan tetapi, pada akhir tahun 1959, terjadi perang dingin antara blok barat yaitu Amerika dan juga blok timur yaitu Uni Soviet, sehingga menyulitkan Indonesia untuk membeli kepada kedua negara besar tersebut.

Pihak Amerika menolak keinginan Indonesia untuk membeli pesawat yang berasal dari Amerika. Pihak Amerika menilai bahwa Indonesia merupakan negara yang terlalu memihak kepada poros kiri atau komunisme. Hal ini juga dapat dilihat dengan berkembangnya Nasokom dan juga PKI di Indonesia pada saat itu. Penyebaran paham komunis yang marak tersebut yang menjadikan alasan bahwa Amerika tidak ingin menjual pesawat tempur dan peralatan tempur lain kepada pihak Indonesia. Walaupun demikian, keinginan untuk membeli pesawat tempur masih diusahakan. Usaha selanjutnya yaitu beralih kepada pihak timur yaitu Uni Soviet. Pihak Uni Soviet awalnya menolak permintaan mengenai pembelian pesawat tempur tersebut, hal ini disebabkan bahwa Indonesia bukan ingin membeli, tetapi ingin mengkreadit atau mencicil pembelian pesawat tersebut kepada Uni Soviet. Akan tetapi, dikarekan kedekatan komunis diantara Indonesia dan Uni Soviet, usaha pembelian tersebut berhasil dan disepakati di Moscow. Setelah perjanjian tersebut, pihak Indonesia berhasil mengoleksi lebih dari 100 unit pesawat penempur, penyergap, angkut hingga bomber. Beberapa pesawat tersebut adalah pesawat penempur MIG 15 dan MIG 17, pesawat angkut AN-12 dan Il-18, pesawat pembom sedang Il-28, pesawat penyergap dan penempur MIG 19. AURI juga secara mengejutkan mendapat duo mahkota aviasi Soviet penyergap MIG 21 dan pembom strategis TU-16.

3. Tugas Trikora, Dwikora dan Jasa Seumur Jagung

Setelah Soekarno memberikan perintah Trikora di alun alun utara Yogyakarta pada 19 Desember 1961. AURI segera dikirim untuk terjun langsung di wilayah timur Indonesia. Bermarkas utama di Morotai dengan hampir memboyong armada baru mereka kesana, AURI siap siaga menanti perintah serang. Pembom disiagakan sebagai penghancur kekuatan laut Belanda dan juga HNLMS Karel Doorman. Il 28 dijadikan ujung tombak karena sudah disiapkan sebagai pembom anti kapal. Penempur MIG yang diboyong di Morotai dibatasi dengan MIG 15,17 dan 19 sedangkan MIG 21 dan TU 16 dibatasi operasionalnya dari Madiun karena faktor jangkauan.

Konsentrasi superioritas udara ini segera menjadi momok bagi Belanda. Keberadaan armada bomber dan penyergap supersonik baru diketahui setelah CIA melakukan misi mata mata dengan pesawat U2 diatas Madiun. Skuadron Hawker Hunter mereka di Jayapura jelas dapat dilumat habis oleh penyergap Indonesia yang jauh lebih kencang. Karel Doorman juga tidak bisa beroperasi jauh, bomber Il 28 dan TU 16 dapat menyerang mereka dengan torpedo atau misil kendali KS 1 Kennel yang cukup untuk menenggelamkan Doorman dalam satu gelombang serang. Supremasi ini membuat AURI dapat bernafas diatas awan, walaupun sortie lebih didominasi dengan misi penyusupan atau patroli yang bertujuan untuk mempengaruhi moril Belanda. AURI akhirnya tidak banyak bekerja selama Trikora selain menjadi senjata psikologi. Akan tetapi, patut diakui bahwa deteren pasukan AURI telah cukup untuk membuat Belanda tidak menerjunkan serangan secara jor-joran dan akhirnya setuju menyerahkan Irian ke Indonesia lewat perjanjian New York 15 Agustus 1962.

Tidak butuh waktu lama bagi AURI untuk kembali bersinar. Dwikora yang kembali digaungkan oleh Soekarno pada 20 Januari 1963 memulai babak konfrontasi Indonesia-Malaysia. Armada AURI disiagakan untuk menyerang dan melakukan penyusupan di wilayah Malaya dan Kalimantan. Berbeda dengan Trikora, misi Dwikora dilakukan jauh dari wilayah Kalimantan karena keterbatasan logistik dan lanud yang memadai. AURI juga dihadapkan dengan persenjataan Inggris yang jauh lebih mumpuni dibanding Belanda. Gloster Javelin disiagakan di semenanjung Malaysia dan cukup untuk mengejar TU 16. MIG 21 yang dikenal boros juga tidak bisa melakukan sortie jauh dan terpaksa melakukan misi dekat rumah di selat Malaka. Kapal induk Inggris HMS Centaur dan Victorious juga memberi tantangan superioritas wilayah laut dengan wing De Havilland Sea Vixen yang cukup untuk menandingi MIG 17 dan 19, mereka juga berani muncul untuk membawa deteren dan mencegah eskalasi konflik. Walaupun demikian, AURI diberikan jatah sortie yang lebih banyak dibanding saat Trikora dan nyaris semua operasi ini dilakukan dari Medan dan Palembang kecuali misi serang darat dan pengawalan yang dijalankan dari Balikpapan. MIG 21 diberi sortie patroli dan penyusupan di wilayah selat Malaka dalam upaya perang psikologi dan survei jangakauan radar Inggris. TU 16 disiagakan membawa misil KS 1 melakukan patroli maritim serta melakukan misi penyusupan jauh dalam hutan Sabah untuk menjatuhkan muatan pamflet propaganda. Sedangkan, pesawat lain seperti MIG 15,17,19 dan Il 28 disiagakan apabila konflik besar pecah. AURI juga melakukan misi serang darat dan mengintai untuk mendukung infiltrasi Kostrad di belantara Kalimantan. Selama Dwikora pula kekuatan AURI makin sering terlibat kontak langsung dengan pihak Inggris-Malaysia. Pembom Tupolev tidak jarang disergap saat operasi dan harus berputar, dan seperti mengulang Trikora wing pembom maritim juga kembali gagal menemukan kedua kapal induk Inggris.

Kekuatan AURI yang sempat memuncak ini tiba tiba padam pada pertengahan 1960an. G30S/PKI menyeret AURI ke meja pengadilan militer. KSAU Omar Dani dianggap sebagai penghianat karena salah membaca pergerakan politis dan mendukung PKI dalam melaksanakan pembersihan jendral. Soekarno yang dipaksa turun dengan terbitnya Supersemar juga mengakhiri eskalasi Dwikora secara lanjut. Semua pasukan dibawah komando Mandala dipanggil pulang tak terkecuali AURI dan armada mereka. Matra udara langsung dikucilkan dan menjadi kambing hitam dalam semalam. Kekuatan yang dibanggakan dicap sebagai produk komunis yang ingin menghancurkan bangsa. Pilot hingga tentara regimen udara tidak lepas dari caci maki masyarakat hingga jajaran Akabri sendiri terlebih dari Kostrad. Perlahan kekuatan AURI dikikis dan dirobek. Rusaknya diplomasi dengan Soviet pasca pembersihan besar besaran komunisme membuat suku cadang dan pelatihan kru menjadi makin langka, pesawat terpaksa dijual seperti MIG 19 yang dijual kepada Pakistan atau langsung di bestuakan. AURI masih mencoba bertahan sekuatnya dengan kanibalisme. Walaupun pada akhirnya hal tersebut itu tidak berguna.

Tekanan kembali datang dari pusat setelah Jakarta menyetujui hibah F 86 Sabre dan T 33 Shooting Star dari pihak AS dan Australia dengan catatan mempensiunkan dan menghibahkan TU 16 dan MIG 21 kepada Amerika. Mau tak mau AURI harus merelakan taji mereka dan menggantinya dengan pembaharuan yang malah lebih ketinggalan zaman. AURI sendiri berhasil menyelamatkan beberapa unit dari tempat rongsok dan menyimpannya di museum atau dijadikan monumen seperti sekarang. Pelayanan singkat kekuatan udara ini cukup tragis mengingat seberapa banyak usaha AURI dalam mendapatkan alutsista saat itu dan bagaimana mereka menggunakannya dengan sangat efektik. Efek pencopotan kekuatan ini juga berdampak hingga sekarang, menyebabkan TNI AU modern masih sangat tertinggal dibanding AD maupun AL.

Penutup

AURI masih penjadi saah satu bagian dari sejarah angkatan pertahanan Indonesia yang sempat membawa nama Indonesia kepada kancah Internasional dengan kecerdikan dan keberanian dari AURI. Walaupun pada akhirnya AURI harus dibubarkan karena dianggap terlibat dengan peristiwa G30S/PKI. Setelah AURI dibubarkan, AURI segera digantikan dengan Angkatan Udara yang baru dengan peralatan atau alusista yang baru. Akan tetapi, alusista tersebut jauh di bawah kualitas dari alusista AURI terdahulu. Hal ini lah yang menyebabkan perkembangan Angakatan tempur darat dan laut lebih berkembang dan meninggalkan Angkatan Udara di belakangnya.

Daftar Pustaka

Lebang. Tomi. (2010). Sahabat lama, era baru : 60 tahun pasang surut hubungan Indonesia-Rusia. Gramedia : Jakarta

Benedicta A. Surodjo, JMV. Soeparno. (2001). Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani. MEDIA LINTAS INTI NUSANTARA : Jakarta

Bambang Slamet Riyadi. (2007). Perkembangan kekuatan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) 1959-1965. UNS : Surakarta

TNI AU. (2003). Bakti TNI AU 1946-2003. Jakarta