Tari Srimpi Ludiramadu dari Masa ke Masa
18
- Juli
2022
Posted By : hmpsfishipol
Komentar Dinonaktifkan pada Tari Srimpi Ludiramadu dari Masa ke Masa
Tari Srimpi Ludiramadu dari Masa ke Masa

Oleh Ghumayda Tsurayya | Editor : Dewi Ayu Sabrina

Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Salah satunya adalah kebudayaan yang berwujud tarian tradisional seperti Srimpi. Tari tardisional ini terkenal dengan gaya tariannya yang bercorak Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini bukan tanpa alasan. Dulunya, penciptaan tarian Srimpi tersebut tidak terlepas dari peran raja-raja Mataram yang berkuasa pada zamannya seperti Sultan Agung, Hamengku Buwana, dan Mangkunegaran Pakubuwana. Pada saat itu, Raja sebagai penguasa dinasti Mataram Baru dianggap berperan penting dalam penciptaan tari tradisional klasik Jawa, salah satunya Tari Srimpi Ludiramadu. Tari Srimpi Ludiramadu lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1790-1820 M).  Tarian ini diciptakan oleh Hamengkunagara III yang juga merupakan putra Paku Buwana IV. Tari Srimpi Ludiramadu memiliki sifat dan ciri yang secara umum melekat seperti karya seni lain yang lahir pada masa Paku Buwana IV yaitu memiliki rasa halus, lincah, dan kenes seperti watak kijang.

Tari Srimpi lahir dan berkembang di lingkungan Keraton. Tari ini biasanya ditampilkan oleh empat orang penari yang menggambarkan putri dengan watak seorang prajurit. Watak prajurit ini digambarkan sebagai seorang yang halus, berwibawa, dan agung serta memiliki rasa gagah, prenes, dan sigrak. Penari Srimpi masing-masing mempunyai nama yang menurut pandangan orang Jawa berkaitan dengan bagian tubuh manusia. Tidak hanya itu, empat penari tersebut juga sering dikaitkan dengan kelahiran manusia menurut falsafah Jawa.  Tari Srimpi juga memiliki makna yang sakral karena merupakan karya dari seorang raja. Selain itu, tarian ini juga kerap dipentaskan saat raja jumeneng di singgasananya sehingga menimbulkan suasana yang hening dan magis.

Sisi yang tidak kalah menarik dari Tari Srimpi Ludiramadu ini adalah pementasannya yang banyak menggunakan sesaji dan prosesi yang panjang. Prosesi dan sesaji ini berfungsi sebagai wetonan raja ingkang sinuwun. Tari ini juga sering dipentaskan untuk menyambut tamu kerajaan seperti kerajan Yogyakarta, Malaysia, bahkan Belanda atau tamu-tamu penting seperti Presiden, Menteri, Walikota, dan lain-lain. Seiring berjalannya waktu, Tari Srimpi tidak hanya populer di dalam keraton, akan tetapi menyebar ke luar tembok keraton bahkan dapat disusun oleh seniman-seniman biasa. Adanya kreativitas dari seniman juga menimbulkan perubahan pada Tari Srimpi Ludiramadu sehingga menciptakan kebudayaan dan karya yang baru. Dewasa ini perkembangan seni tari tradisi kraton cenderung mengarah ke aspek hiburan daripada aspek spiritual.

Sama halnya dengan Tari Serimpi yang mengalami perubahan dengan seiring berkembangnya zaman, keadaan para penari di keraton pun turut berubah mengikuti kondisi keraton. Terjadinya konflik internal pada masa kekuasaan Raja yang berpindah ke Republik Indonesia menjadikan keraton terbelah menjadi dua kubu yakni ingin memiliki kekuasaan pemerintahan seperti Yogyakarta dan ikut dengan Republik Indonesia. Hal tersebut menyebabkan keadaan ekonomi keraton berantakan, begitupun dengan keadaan penari keraton. Sebab keadaan ekonomi keraton sangat berpengaruh terhadap regenerasi penari. Banyak Putri keraton lebih memilih untuk bekerja ketimbang berlatih menari. Setelah pemerintahan beralih ke tangan Republik Indonesia, keluarga keraton sibuk dengan urusan luar keraton seperti di kepartaian, pegawai negeri sipil, bahkan dunia bisnis yang menjadikan kesenian tradisi perlahan memudar. Kini, dalam urusan penyambutan tamu, pihak keraton memilih mengambil mahasiswa STSI yang sekarang menjadi ISI Surakarta untuk menyajikan Tari Srimpi Ludiramadu. Meski demikian, pihak keraton nyatanya juga menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan pihak luar agar budaya Jawa terutama tarian tetap terus lestari karena pihak kraton merasa tidak mampu jika melakukannya sendiri. Untuk itu keraton menggandeng pengelola ASKI Surakarta yang sekarang menjadi ISI Surakarta untuk menjaga budaya-budaya Jawa yang semakin tergerus zaman terutamanya tarian Srimpi ini.

PENUTUP

Tari Keraton menjadi salah satu kebudayaan peninggalan sejarah, salah satunya Tari Srimpi Ludiramadu. Tari Srimpi yang merupakan karya dari raja menjadikan hal tersebut sakral dan pada masa dahulu hanya ditarikan ketika raja jumeneng di singgasananya. Seiring berjalannya waktu, Tari Srimpi Ludiramadu semakin kesulitan menampakkan eksistensinya. Perkembangan dunia yang semakin modern membuat banyak orang kurang tertarik lagi dengan budayanya sendiri. Agar budaya yang ada tidak punah sepenuhnya, perlu kampanye dan inovasi agar budaya Jawa, khususnya Tari Srimpi Ludiramadu dapat terus bertahan dan eksis di hati masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L.N. Sejarah Asal Tari Serimpi: Perlawanan Terhadap Penjajah. Tersedia pada https://www.gramedia.com/literasi/tari-serimpi/ diakses 8 Juni 2022.

Zulfikar, F. 2021. Tari Serimpi: Sejarah, Makna, dan Jenis-Jenisnya. Tersedia pada https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5593208/tari-serimpi-sejarah-makna-dan-jenis-jenisnya diakses 8 Juni 2022.

Prabowo, W.S. 1990:2. Termuat dalam “Sawitri. 2012. Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Tari Srimpi Ludiramadu. Tesis. Dimuat dalam https://digilib.uns.ac.id/ diakses pada 8 Juni 2022”.

Pangrawit, P. 1990:110-111. Termuat dalam “Sawitri. 2012. Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Tari Srimpi Ludiramadu. Tesis. Dimuat dalam https://digilib.uns.ac.id/ diakses pada 8 Juni 2022”.

Pangrawit, P. 1965:24. Termuat dalam “Sawitri. 2012. Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Tari Srimpi Ludiramadu. Tesis. Dimuat dalam https://digilib.uns.ac.id/ diakses pada 8 Juni 2022”.

Sosmosapoetra, S. 1956:25. Termuat dalam “Sawitri. 2012. Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Tari Srimpi Ludiramadu. Tesis. Dimuat dalam https://digilib.uns.ac.id/ diakses pada 8 Juni 2022”.

Sawitri. 2012. Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Tari Srimpi Ludiramadu. Tesis. Dimuat dalam https://digilib.uns.ac.id/ diakses pada 8 Juni 2022. Hlm. 52-56