Ketika Keraton Melawan Dai Nippon: Kebijakan Sultan Menentang Eksploitasi Junta Jepang di Yogyakarta
27
- Mei
2022
Posted By : hmpsfishipol
Komentar Dinonaktifkan pada Ketika Keraton Melawan Dai Nippon: Kebijakan Sultan Menentang Eksploitasi Junta Jepang di Yogyakarta
Ketika Keraton Melawan Dai Nippon: Kebijakan Sultan Menentang Eksploitasi Junta Jepang di Yogyakarta

Oleh Luhur Arya Perdana | Editor : Estika Efa Prasiska

Yogyakarta, kota yang terletak di tengah pulau Jawa merupakan kota dengan sumber daya alam yang melimpah. Letaknya yang berada di selatan Gunung Merapi menyebabkan tanah di Kota Gudeg ini sangat subur. Dengan kondisi tanah subur tersebut mendukung mata pencaharian masyarakatnya sebagai petani. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh pihak pemerintah Belanda untuk menggunakan tanah di Yogyakarta sebagai tempat untuk menanamkan modal investor (sejumlah uang yang digunakan untuk membeli barang modal dengan harapan meningkatkan pengembalian di masa mendatang). Modal tersebut digunakan untuk memperluas tanah pertanian untuk menambah kas negara. Tanaman yang ditanam juga merupakan tanaman yang berkomoditas tinggi, seperti tebu.  Hal ini, terus berlanjut sampai Jepang mengambil alih Indonesia. Masa pendudukan Jepang yang lebih kejam dibandingkan Belanda membuat Sri Sultan Hamangku Buwono IX harus berfikir lebih dalam agar Jepang tidak memanfaatkan sumber daya manusia di Yogyakarta secara membabi-buta.

Pada masa pendudukan Jepang di Yogyakarta, sikap tegas Sri Sultan Hamengku Buwono IX dapat terus memimpin dan bersama dengan rakyat Yogyakarta. Kala itu banyak daerah di Yogyakarta sangat menderita dan tertekan dalam hidupnya. Contoh konkretnya ada para petani yang dipaksa untuk menyerahkan padi, ternak, dan hasil bumi lainnya kepada bala tentara Jepang setiap minggunya. Para bangsawan diwajibkan menyerahkan perhiasan milik mereka, seperti emas, perak, dan intan kepada Jepang. Jalanan dengan pagar halaman dari besi dicabut secara paksa, nasib rel kereta api pada jalur sepi pun sama, dibongkar secara paksa, dan semua barang dan alat yang masih dapat dipakai, dibawa, serta dimanfaatkan oleh Jepang untuk menyuplai bahan baku dan untuk mendukung pembuatan persenjataan dalam Perang Pasifik kala itu.

Saat itu, bala tentara Dai Nippon (Jepang) membutuhkan tenaga kerja yang mampu dijadikan prajurit pekerja atau romusha dengan imbalan  akan diberi upah dengan layak. Kaum romusha ini kemudian diambil dari para petani desa, melalui jalur rekomendasi lurah, camat, dan bupati. Mereka semua dikumpulkan di barak penampungan, kemudian dikirim ke tempat yang dirahasiakan. Bahkan ada yang dikirim ke Myanmar (Burma) dan tempat lain di luar negeri. Para romusha itu dipekerjakan di berbagai proyek pertahanan Jepang, beberapa contohnya yaitu seperti proyek membuat benteng, jalan kereta api, jembatan, lapangan terbang, dan terowongan (Kutoyo, 1997:115).

Mengenai jumlah romushanya sendiri, kota Yogyakarta memiliki jumlah pemuda yang paling sedikit dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kebijaksanaan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan kematangan pola pikir disaat menghadapi permainan politik pemerintah saat pendudukan Jepang. Dari pandangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, berbagai kebijakan yang diterapkan secara paksa oleh Jepang, akan bermuara pada proses ‘mengambil’ hasil bumi dan tenaga kerja rakyat Yogyakarta guna memenuhi kepentingannya sendiri.

Melihat hal tersebut, Sri Sultan menyusun strategi untuk menyelamatkan rakyat Yogyakarta. Beliau menyampaikan kepada pihak Jepang bahwa alam Yogyakarta tidak dapat mendukung politik Jepang tersebut. Hal ini akan dapat diubah dan Yogyakarta akan menjadi daerah yang mampu mendukung politik Jepang, jika segera diadakan perbaikan. Jika diadakan pembangunan, maka tentu saja akan lebih banyak lahan pertanian yang dapat menghasilkan panen melimpah. Dengan demikian, sumbangan rakyat Yogyakarta akan lebih besar kepada pihak Jepang. usulan itu ditanggapi positif oleh pemerintah pendudukan Jepang. Bahkan pihak Jepang juga berkenan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membangun sistem irigasi dan penanggulangan banjir yang diusulkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Kutoyo, 1997:116-117). 

Proyek ini dipimpin oleh tentara Jepang. Kadang-kadang mereka juga turut bekerja menggali tanah, tetapi lebih banyak mereka hanya mengawasi saja. Jika pengawas tentara Jepang sedang tidak ada, yang menggantikannya para lurah. Pengawasan dalam proyek ini juga tidak begitu ketat. Untuk pengerahan para pekerja dalam proyek ini dikerahkan dari semua daerah yang berdekatan dengan proyek yang bersangkutan. Atas perintah Jepang pengerahan tenaga melalui pangreh praja. Bupati memerintahkan wedana, wedana memerintahkan asisten wedana, asisten wedana memerintahkan lurah-lurah di wilayahnya untuk menyediakan tenaga dari warga desanya sebanyak 10 sampai 20 orang. Kemudian lurah memerintahkan perangkat desa, seperti jagabaya. Namun, terkadang lurah juga memerintahkan kamituwo atau kuco untuk mengerahkan warga desa sebanyak jatah yang telah ditentukan.

Setiap  keluarga diambil satu orang dan diperintahkan untuk berkumpul di kelurahan. Setelah mereka berkumpul diberi penerangan bahwa mereka diperintahkan oleh Jepang untuk mengerjakan sesuatu di suatu tempat yang sudah ditentukan. Setelah itu mereka diantarkan perangkat desa ke tempat bekerja. Di tempat kerja mereka akan dibentuk kelompok dalam bekerja dan dicek satu per satu kehadirannya. Setiap kelompok akan  diberi tugas tertentu. Misalnya, mereka yang dipekerjakan di Selokan Mataram untuk gotong royong. Biasanya mereka lebih suka dikirim ke Selokan Mataram daripada dipekerjakan di tempat lain karena mereka mengetahui bahwa mengerjakan Selokan Mataram atas perintah Sultan Hamengku Buwono IX dengan tujuan agar mereka tidak dikirim sebagai romusha keluar dari Yogyakarta.

Penutup

Demikianlah, pada zaman pendudukan Jepang di Kasultanan Yogyakarta diadakan pembangunan irigasi, pembangunan pintu air lengkap dengan bangunan pengontrol, bendungan, jembatan, dan tanggul di daerah Adikarto. Proyek itu dapat menghilangkan daerah genangan air dan airnya dapat disalurkan ke laut kidul. Proyek pengairan di Yogyakarta itu dalam bahasa Jepang dinamakan dengan Bendungan Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yotsuiro, sedangkan rakyat Yogyakarta menamakannya Selokan Mataram.

Daftar Pustaka:

Wulandari, Sari. 2010. Selokan Mataram (Kecerdikan Sang Sultan). Badan Pelestarian Pustaka Indonesia. URL: https://chc.ft.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/397/2018/08/Selokan-Mataram_opt.pdf . Diakses pada 25 April 2022 pukul 23.01 WIB.

Dalam jurnal online yang diakses melalui http://eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3199/3/BAB%20II.pdf. Pada tanggal 25 April 2022. Pukul 00.09 WIB.

Suharman. 2018. SELOKAN MATARAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH LOKAL. AKADEMIKA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 17. No. 2. URL: http://jurnal.ipw.ac.id/journal/jurnal-akademika-jurnal-ilmiah-kependidikan/article/30/selokan-mataram-dalam-perspektif-sejarah-lokal.html?jurnal=download. Diakses pada 25 April 2022. Pukul 00.31 WIB.